Wednesday 1 June 2016

KELOMPOK KHATAMAN ALQURAN KKQ FP UNSRI 1970-80AN

بسم الله الرحمن الرحي

  • Progress Report Khatam KKQ ODOJ Group B
  • Putaran 28
  • Takmir Pengurus : Ferry Budiman  
  • (Jakarta) 
  • Semoga Allah Subhanahu WaTaala merahmati kita semua..
  • Aamiin Ya Robbal Aalamiin
  • Start : pukul 21.00 - 01 Juni 2016
  • Finish : pukul 20.00 - 02 Juni 2016

  • 󾁄 Juz 01 ↔ Kak Didik
  • 󾁄 Juz 02 ↔ Yuk Telly
  • 󾁄 Juz 02 ↔ Buk Aisyah
  • 󾁄 Juz 03 ↔ Yuk Emi
  • 󾁄 Juz 04 ↔ Yuk Umi
  • 󾁄 Juz 05 ↔ Aak Nino
  • 󾁄 Juz 06 ↔ Atuk Supli
  • 󾁄 Juz 07 ↔ Y Nenny M
  • 󾁄 Juz 08 ↔ Yuk Jamilah
  • 󾁄 Juz 09 ↔ Mas Budi
  • 󾁄 Juz 10 ↔ Y Neni Marsi
  • 󾁄 Juz 11 ↔ Yuk Hanun
  • 󾁄 Juz 12 ↔ Yuk Yudhi
  • 󾁄 Juz 13 ↔ Yuk Ernita
  • 󾁄 Juz 14 ↔ Kak Djoni
  • 󾁄 Juz 15 ↔ Kak Amran
  • 󾁄 Juz 16 ↔ Kak Edrus
  • 󾁄 Juz 17 ↔ Yuk Nila
  • 󾁄 Juz 18 ↔ Bang Edo
  • 󾁄 Juz 19 ↔ Yuk Lisa M
  • 󾁄 Juz 20 ↔ Yuk Atik
  • 󾁄 Juz 21 ↔ Kak Ikmal
  • 󾁄 Juz 22 ↔ Yuk Midra
  • 󾁄 Juz 22 ↔ Dek Gustin
  • 󾁄 Juz 23 ↔ Kak Ferry 
  • 󾁄 Juz 24 ↔ Yuk Zola
  • 󾁄 Juz 25 ↔ Yuk Cik A
  • 󾁄 Juz 26 ↔ Yuk Asma
  • 󾁄 Juz 27 ↔ Yuk Laili N
  • 󾁄 Juz 28 ↔ Yuk Amor
  • 󾁄 Juz 29 ↔ Yuk Mira
  • 󾁄 Juz 30 ↔ Kak Izal

KELUARGA YANG MENERAPKAN ALQURAN DAN SUNNAH NABI MUHAMMAD SAW

BISMILLAH,

Keluarga yang terbaik itu adalah keluarga para nabi dan rasul khususnya keluarga nabi Muahmmad saw. Juga keluarga para sahabat nabi Muhammad saw. Seperti apakah bentuk keluarga kita? Ada yang mengatakan rumahku surgaku. Tapi, tak sedikit mengatakan rumahku seperti neraka. Atau, hambar saja. Tak ada rasa bahwa kita punya keluarga.

Apa pun bentuk keluarga kita itu adalah hasil dari perpaduan tiga faktor pembentuknya. Ketiga faktor itu adalah paradigma yang kita miliki tentang keluarga, kompetensi seluruh anggota keluarga kita dalam membangun keluarga, dan macam aktivitas yang ada dalam keluarga kita.

Kalau dalam paradigma kita bahwa keluarga bahagia adalah yang bergelimangan harta, maka motivasi kita dalam berkeluarga adalah mengkapitalisasi kekayaan. Pusat perhatian kita dalam berkeluarga adalah menambah kekayaan.

Paradigma berkeluarga bagi seorang muslim berasal dari motivasi bahwa berkeluarga adalah untuk beribadah kepada Allah, menjaga kesucian diri, dan merealisasikan amal bahwa berkeluarga adalah bagian dari sebuah gerakan menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi. Sehingga, pusat perhatiannya dalam berkeluarga adalah meningkatkan kualitas ruhiyah, fikriyah, nafsiyah (emosi kejiwaan), jasadiyah, dan sosialisasi setiap anggota keluarganya.

Karena itu, membangun keluarga sakinah mawadah wa rahmah (samara) adalah sasaran yang ingin dicapai seorang muslim dalam membentuk berkeluarga. Dalam keluarga yang samara itulah kita akan melahirkan pribadi islami untuk saat ini dan masa depan.

Jadi, sangat penting bagi seorang muslim membangun kompetensi untuk membangun keluarga. Kompetensi berumah tangga adalah segala pengetahuan, keterampilan, dan sikap dasar yang harus dimiliki agar seseorang dapat berhasil membangun rumah tangga yang kokoh yang menjadi basis penegakkan nilai-nilai Islam di masyarakat. Maka tak heran jika Rasulullah saw. menyuruh kita untuk pandai-pandai memilih pasangan hidup. Tidak asal pilih.

Abu Hurairah r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Berbahagialah orang yang menikahi wanita karena agamanya, dan merugilah orang yang menikahi wanita hanya karena harta, kecantikan, dan keturunannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Abdillah bin Amrin r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Janganlah kamu menikahi wanita hanya karena kecantikannya, sebab kecantikan itu pada saatnya akan hilang. Janganlah kamu menikahi wanita hanya karena hartanya, sebab harta boleh jadi membuatnya congkak. Tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab seorang wanita budak yang jelek lagi hitam kelam yang memiliki agama (kuat dalam beragama) adalah lebih baik daripada wanita merdeka yang cantik lagi kaya, tetapi tidak beragama.” (HR. Ibnu Majah).

Ibnu Abbas r.a. berkata, bahwa Nabi saw. telah bersabda, “Empat perkara, barangsiapa memilikinya berarti dia mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat: hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berdzikir, badan yang sabar dikala mendapat musibah, dan istri yang dapat menjaga kehormatan diri serta dapat menjaga harta suami.” (HR. Thabrani).

Keshalihan diri kita dan pasangan hidup kita adalah modal dasar membentuk keluarga samara. Keluarga samara adalah keluarga dengan karakteristik sebagai berikut:

  1. Keluarga yang dibangun bersama pasangan suami-istri yang shalih.

  2. Keluarga yang anggotanya punya kesadaran untuk menjaga prinsip dan norma Islam.

  3. Keluarga yang mendorong seluruh anggotanya untuk mengikuti fikrah islami (pemikiran islam).

  4. Yang anggotanya terlibat dalam aktivitas ibadah dan dakwah, dalam bentuk dan skala apapun.

  5. Keluarga yang menjaga adab-adab Islam dalam semua sisi kehidupan rumah tangga.

  6. Keluarga yang anggotanya melaksanakan kewajiban dan hak masing-masing.

  7. Keluarga yang baik dalam melaksanakan tarbiyatul aulad (proses mendidik anak-anak).

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” [QS. Ruum : 21]

Allah memberikan samara kepada pasangan suami-istri muslim sebagai modal untuk meraih kebahagiaan. Bukankah tujuan hidup kita sebagai seorang manusia adalah memperoleh kebahagian? Bagi seorang muslim, ada tiga level kebahagiaan yang ingin dicapai sesuai dengan QS. Al-Baqarah ayat 201;

Dan diantara mereka ada orang yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.”

Itulah sebaik-baik doa seorang muslim, yang biasa kita mengenalnya sebagai do’a sapu jagad. Kita bercita-cita meraih kebahagiaan di dunia. Ketika meninggalkan dunia, kita mendapat kebahagiaan di akhirat. Yang dimaksud dengan al-hasanah (kebaikan) di akhirat adalah surga. Tapi, ada orang yang langsung masuk surga dan ada juga orang yang dibersihkan dulu dosa-dosanya di neraka baru kemudian masuk surga. Nah, obsesi tertinggi kita adalah wa qinaa adzaaban nar, masuk surga dengan tanpa tersentuh api neraka terlebih dahulu. Sebab, inilah kesuksesan yang sebenarnya bagi diri seorang mukmin.

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” [QS. Ali Imran : 185]

Karena itu, doa “Rabbanaa atinaa fiiddunya hasanah..” haruslah menjadi konsumsi bagi setiap muslim sepanjang hidupnya di dunia. Ketika seorang muslim dan muslimah menikah, syiar ini bertransformasi menjadi: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [QS. At-Tahrim : 6]

Inilah tugas pokok seorang kepala keluarga; menjaga agar tidak satupun anggota keluarganya tersentuh api neraka. Untuk menunjukkan bahwa tugas ini sangat penting, Allah memvisualisasikan bagaimana dahsyatnya neraka dan tidak nyamannya orang yang masuk ke dalamnya. Diperlakukan kasar dan keras. Padahal, kita tidak pernah ridho jika istri atau misal adik perempuan kita diganggu orang di jalan, kita marah jika anak kita dilukai orang, kita tidak mau anggota keluarga kita tidak nyaman akibat kepanasan atau kehujanan. Itulah bentuk rasa sayang kita kepada mereka. Seharusnya, bentuk kasih sayang itu juga menyangkut nasib mereka di akhirat kelak. Kita tidak ingin satu orang anggota keluarga kita tersentuh api neraka.

Tugas berat ini tentu tak mungkin ditanggung oleh seorang kepala keluarga sendiri tanpa ada keinginan yang sama dari setiap anggota keluarga. Artinya, akan lebih mudah jika seorang suami beristri seorang muslimah yang punya visi yang sama: sama-sama ingin masuk surga tanpa tersentuh api neraka. Inilah salah satu alasan bahwa kita tidak boleh asal dalam memilih pasangan hidup.

Karena itu, hubungan suami-istri, orang tua dan anak, adalah hubungan saling tolong menolong. Saling tolong menolong agar tidak tersentuh api neraka. “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. At-Taubah : 71]

Tolong menolong. Itulah kata kunci pasangan samara dalam mengelola keluarga. Suami-istri itu akan berbagi peran dan tanggung jawab dalam mengelola keluarga mereka. Sungguh indah gambaran pasangan suami-istri yang seperti ini. Suaminya penuh rasa tanggung jawab, istrinya mampu menjaga diri dan menempatkan diri.

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka.” [QS. An-Nisa’ : 34]

Pasangan suami-istri yang seperti itu sadar betul bahwa keluarga harus dikelola seperti sebuah organisasi. Bukankah keluarga adalah unit terkecil dalam susunan organisasi masyarakat? Bukankah keluarga adalah miniatur sebuah negara? Jadi, kenapa banyak keluarga berjalan tanpa pengorganisasian yang memadai?

Jika kita yakin bahwa keluarga adalah sebuah lembaga, maka sebagai lembaga harus terorganisasi. Ada pemimpin dan ada yang dipimpin. Ada hak dan ada tanggung jawab. Ikatan antara pemimpin dan yang dipimpin adalah ikatan kerjasama. Kerjasama haruslah punya tujuan yang terukur. Dan tujuan yang ingin dicapai haruslah diketahui bagaimana cara mencapainya. Itu artinya, cara pencapaiannya harus direncanakan. Setiap rencana baru bisa sukses jika diiringin kemauan yang kuat (azzam).

Dan salah satu rahasia keberhasilan realisasi sebuah rencana adalah ketika rencana itu dibuat dengan prinsip syura atau musyawarah. Semakin tinggi tingkat partisipasi, maka akan semakin tinggi potensi keberhasilan tujuan itu dicapai. Inilah salah satu rahasia keberhasilan Rasulullah saw. mengelola para sahabat. Karena Rasulullah saw. selain berlemah-lembut, juga mengajak peran aktif mereka dalam bermusyawarah membuat rencana-rencana strategis.

Artinya, keluarga juga akan sukses mencapai tujuan-tujuannya jika menerapkan prinsip musyawarah dalam perencanaannya. Bahkan, untuk urusan menyapih (ibu berhenti memberi ASI) pun harus disyurakan. Ini perintah Allah swt. “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.” [QS. Al-Baqarah : 233]

Jadi, jika tidak ingin ada satu orang keluarga pun tersentuh api neraka, kita harus merencanakannya. Tetapkan ini sebagai visi keluarga kita. Lalu, terapkan dengan sungguh-sungguh agar menjadi sebuah langkah yang aplikatif. Jika kita perinci, kira-kira akan menjadi seperti ini.

Visi keluarga:
Tidak ada satu pun anggota keluarga tersentuh api neraka.

Misi keluarga:

  1. Memperoleh hidup mulia atau mati syahid.

  2. Mencapai derajat taqwa yang sebenarnya.

Strategi untuk mencapai visi dan misi keluarga:

  1. Setiap anggota keluarga mengikuti tarbiyah (pendidikan) dalam bentuk tilawah Al-Qur’an, ada proses tazkiyah (pembersihan diri), dan taklim.

  2. Setiap anggota keluarga menjalankan ibadah sampai derajat ihsan.

  3. Setiap anggota keluarga berdakwah dan berjihad fii sabilillah.

  4. Ada anggota keluarga yang menjadi pemimpin masyarakat (istikhlafu fiil ardhi).

Arah kebijakan keluarga:

  1. Semua anggota keluarga kita harus tertarbiyah (terdidik secara Islami).

  2. Setiap anggota keluarga harus memiliki jadwal ibadah unggulan pribadi, baik secara ritual maupun sosial.

  3. Secara jama’i (bersama-sama), keluarga harus punya jadwal ibadah unggulan, baik ritual maupun sosial.

  4. Harus memiliki agenda dakwah di dalam keluarga.

  5. Harus memiliki agenda dakwah untuk masyarakat sekitar.

  6. Menghadirkan suasana keluarga yang mendukung tercapainya visi dan misi keluarga.

  7. Mendidik setiap anggota keluarga untuk mencapai kualitas keluarga sebagai pemimpin umat.

  8. Menyediakan sarana dan prasarana pendukung tercapainya visi dan misi keluarga.

Setelah arah dan kebijakan ditetapkan, bisa diperinci ke dalam program dan kegiatan yang aplikatif. Visi dan Misi sebuah keluarga muslim seperti yang di awal dijelaskan adalah untuk menghindarkan keluarga dari siksa neraka dengan cara menerapkan kehidupan yang sesuai dengan Al Qur’an juga Sunnah. Jadi, masuk surga memang harus direncanakan. Bukan sekadar diharapkan.

ALQURAN SEBAGAI PEDOMAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

bismillah,
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw dalam situasi masyarakat arab yang berada pada titik terendah dalam kehidupan mereka. Kehidupan yang  semakin kehilangan orientasi. Sementara itu di luar tanah Arab, Bangsa Romawi dan Parsi terus berperang untuk berebut pengaruh di kawasan itu. Kemenangan dan kekalahan silih berganti diantara kedua negara adidaya pada saat itu.
Pada saat itulah yaitu pada salah satu malam di bulan Ramadlan sekitar tahun 611M, melalui Malaikat Jibril, Allah menurunkan kitab suci Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad yang sedang ber “tahannuts” atau merenung untuk beribadah di Gua Hira diatas jabal Nur di Mekah. Lima ayat pertama telah  menggugah kesadaran umat manusia. Inilah awal dari revolusi kemanusiaan dalam semua sisi kehidupan baik dari segi spiritual, etika, ilmu pengetahuan, hukum dan lain sebaginya. Kelima ayat tersebut adalah :
{اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)} [العلق: 1 – 5]
Artinya : 1.Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.3. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia,4. Yang mengajar (manusia) dengan pena.5. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.( QS.Al’Alaq:5 :1-5)
Ada hal menarik perhatian kita dari lima ayat tersebut :
Pertama : ada 5 kalimat yang terulang dua kali, dan ada 5 kalimat yang tidak terulang. 5 kalimat yang terulang yaitu: kata:1.Iqra’(bacalah).2.Rabb(Tuhan Yang mendidik).3.Khalaqa(menciptakan).4.’Allama (yang mengajarkan). 5.al-Insan (manusia).  Sementara 5 kata yang tidak terulang yaitu : 1.ismi (nama). 2.’Alaq (segumpal darah, zighat).3.al-Akram (yang Maha Mulia).4. bil qalam (dengan pena).5.lam ya’lam (yang tidak diketahuinya).
Dari 10 kata, baik yang terulang maupun yang tidak terulang,  yang ada pada 5 ayat pertama dari surah ini, menyiratkan urgensi  ilmu pegetahuan dalam kehidupan umat manusia.
Kedua : Penggalan ayat pertama adalah berisi dua hal yang menyentak kesadaran masyarakat arab, yaitu bentuk  perintah untuk membaca. Hal ini mengisyaratkan tentang segala sesuatu yang terkait dengan kegiatan intelektual manusia. Manusia selaku “Khalifah” di bumi, yang mendapatkan mandat untuk memakmurkan bumi, diperintahkan untuk membaca apa yang bisa dibaca, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, kemudian merenungi apa yang dibaca, memerhatikan dan mengaplikasikan apa yang telah dia dapatkan dalam kehidupan nyata. Kata “bismi rabbik”memberikan landasan spiritual yang harus diletakkan dalam kerangka kegiatan intelektual tersebut, baik sebelum, selagi dan setelah melakukan kegiatan ilmiah.
Inilah agenda utama yang harus diperhatikan oleh Nabi Muhammad saw selaku utusan Allah swt. Bagaimana Nabi saw mempersiapkan SDM (Sumber Daya Manusia) dengan membangunkan umatnya yaitu bangsa arab yang dijuluki sebagai “ummiyyin” yang tertidur sekian lama, agar bangkit melalui kegiatan intelektual yang selama ini kurang mendapat perhatian  oleh masyarakat arab ketika itu. Ciri bangsa yang maju adalah jika bangsa itu cinta kepada ilmu pengetahuan. Pengetahuan akan membawa kemajuan bangsa. Kemajuan bangsa akan menciptakan peradaban. Peradaban manusia yang tidak berlandaskan pada nilai nilai spiritual, hanya akan berakhir dengan kehampaan, tak bermakna.
Peradaban manusia dimasa yang akan datang haruslah peradaban yang ditopang oleh nilai nilai spiritualitas. Substansi dari “Iqra’ bismirabbik” nya adalah perpaduan antara Intelektualitas dan spiritualitas.
Ketiga : digunakannya ungkapan “tarbiyah” dan “ta’lim” mengisyaratkan bahwa dalam pengajaran yang mengedepankan kecerdasan intelektual, haruslah disertai dengan semangat untuk meningkatkan kecerdasan emosional. Mendidik peserta didik, dilakukan sedikit demi sedikit, dengan penuh rasa kasih sayang, agar bangkit menuju kepada perbaikan secara  terus menerus.
Al-Qur’an telah memberikan predikat yang sangat prestisius kepada kaum muslimin yaitu “Khaira Ummatin ukhrijat linnas” yaitu generasi terbaik yang pernah ada di dunia. Beberapa dekade setelah Al-Qur’an diturunkan, kaum muslimin betul betul menjadi bangsa yang rakus akan ilmu pengetahuan, sehingga menjadi bangsa yang maju dan  berperadaban. Mereka mampu menyerap dan mengembangkan peradaban yang ada sebelumnya yang lebih menekankan pada aspek materialistik. Kaum muslimin menjadi bangsa yang sangat disegani.
Yang menarik lagi adalah bahwa Al-Qur’an tidak diturunkan pada bangsa yang sudah maju, tapi pada bangsa yang masih terbelakang yaitu bangsa Arab di negeri Mekah yang tandus dan gersang. Kebanyakan mereka adalah masih buta huruf. Kemajuan kaum muslimin dalam semua bidang kehidupan, setelah Al-Qur’an turun, menunjukkan bahwa Al-Qur’an, yang dikawal dengan sangat baik oleh baginda Rasulullah, mampu membangkitkan manusia dari titik yang paling rendah pada kehidupan mereka, menuju ke kehidupan yang lebih maju.
Al-Qur’an dalam Berbangsa dan Bernegara :
Al-Qur’an adalah “kitab kehidupan” untuk seluruh manusia (hudan linnas). Tidak ada satu sisipun dalam kehidupan manusia, kecuali Al-Qur’an memberikan hidayahnya, baik secara tersurat maupun tersirat, termasuk didalamnya tentang bagaimana berbangsa dan bernegara.
Manusia adalah makhluk sosiologis, (ijtima’i), dimana kehidupannya sangat tergantung kepada lainnya. Manusia disebut juga sebagai “al-Insan” karena dia merasa damai (uns) jika berjumpa dengan manusia lain. Dalam Al-Qur’an, banyak kosa kata yang mengarah kepada sekumpulan orang yaitu: Tha’ifah”(kelompok kecil ), “Firqah”(kelompok besar), kaum (kelompok manusia), Ummat (sekumpulan orang yang mempunyai cita cita dan tujuan yang sama ), Qaba’il  (kabilah, klan atau puak), dan “Syu’ub”(bangsa).
Diantara kaum dan bentuk pemerintahan yang digambarkan dalam al-Qur’an kepada umat terdahulu adalah kaum Nabi Nuh, Hud, Saleh, Musa, Syu’aib, Ibrahim, Lut, Isa dan dinasti bangsa Mesir asli dengan rajanya yang berjuluk Fir’aun. Penguasa pada masa Nabi Ibrahim, Raja Thalut, Nabi Dawud, dan Nabi Sulaiman,  Ratu Balqis di negeri Saba’, Raja“Dzulqarnain”.
Al-Qur’an tidak memberikan catatan atau kritikan apapun terhadap bentuk pemerintahan masa lalu sebaliknya Al-Qur’an lebih banyak mengecam perilaku dari penguasa lalim dan bangsa yang pendosa, seperti Fir’aun di Mesir pada masa Nabi Musa sebagai penguasa yang sombong, angkuh, diktator, represif, memecah belah kesatuan bangsa, membunuhi bayi bayi lelaki bangsa Israel, dan lebih tragis lagi yaitu pengakuannya sebagai “tuhan” (al-Qasas:4, 38,an-Nazi’at: 24).
Perilaku “Qarun” yang memamerkan  kekayaannya ditengah kemiskinan rakyat (al-Qasas: 79-83) Juga Raja Dzu Nuwas al-Himyari dari negeri Yaman yang telah melakukan genosida dengan cara yang keji yaitu melemparkan para pemeluk agama kedalam parit yang penuh dengan bara api (al-Buruj:4-11).
Disamping itu Al-Qur’an juga memuji perilaku Raja yang bertindak adil terhadap rakyatnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Thalut (al-Baqarah:247), Raja dan Nabi yaitu Dawud, dan  Sulaiman (al-Anbiya’:78-79, Shad: 24-26). “Ratu Balqis” sebagai penguasa yang sangat dihormati oleh rakyatnya. (an-Naml: 29-34). Al-Qur’an juga menyebutkan “Dzulqarnain” yang memerintah dengan penuh keadilan, bisa menolong umat yang tertindas oleh kebringasan kaum Ya’juj wa Ma’juj dengan  membikin bendungan dari besi yang sangat kokoh  (al-Kahf: 83-98).
Hal ini menunjukkan bahwa bentuk pemerintahan adalah berdasarkan kesepakatan bersama antar anggota masyarakat, atau berdasarkan musyawarah, atau apa yang berlaku pada setiap masa secara turun temurun. Dan ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an: ( وأمرهم شورى بينهم ) ( الشورى:38): Artinya: urusan mereka dimusyawarahkan diantara mereka.
Dinamika satu bangsa dan masyarakat dapat berubah dari satu masa ke masa lainnya. Bentuk pemerintahan adalah bukan sesuatu yang bersifat “by Design” atau “Given”dari Allah. Allah memberikan keleluasaan kepada masyarakat dalam hal ini. jauh lebih penting dari diskursus tentang bentuk Negara dan pemerintahan adalah bagaimana mengelola Negara dan masyarakat dengan baik, yaitu dengan memerhatikan nasib masyarakat dengan sebaik baiknya, sehingga tercipta masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Al-Qur’an dan Penataan Masyarakat
Pluralitas atau kebinekaan adalah satu keniscayaan dalam kehidupan. Oleh karena itu Al-Qur’an mengakui adanya pluralitas atau kebinekaan pada umat manusia dan makhluk lainnya, baik dari segi warna kulit, bahasa, agama, adat istiadat dan lainnya. Pluralitas adalah bentuk kebesaran Allah Sang Pencipta. Hidup menjadi penuh warna. Pluralitas dalam kehidupan bukanlah hal yang menyebabkan permusuhan diantara mereka. Yang menjadi persoalan adalah bukan isu pluralitas, karena persoalan pluralitas sudah dituntaskan oleh Al-Qur’an. Yang harus di cermati adalah bagaimana menjaga pluralitas ini sehingga menjadi kekuatan yang riil dalam menata kehidupan masyarakat.
Kita sebagai bangsa Indonesia patut berbangga dengan negeri ini bahkan duniapun mengakui kehebatan Indonesia dengan jumlah  penduduk lebih dari 250 juta jiwa dan terdiri dari beragaman suku, ras,  adat, budaya, dan agama namun mampu  menjaga kebhinekaan ini dalam bingkai NKRI yang kita cintai ini.
Al-Qur’an mengumandangkan secara jelas tentang pluralitas dalam firman Allah :
{وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ (22)} [الروم: 22]
Artinya:  di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (QS.Ar-Rum:30 : 22)
Pluralitas dari segi kebangsaan dikumandangkan oleh Al-Qur’an melalui firman Allah:
{ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)} [الحجرات: 13]
Artinya: Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (QS. Al-Hujarat:49: 13)
Ayat di atas menyiratkan akan pengakuan adanya pluralitas kebangsaan dan kesukuan. Tujuannya adalah untuk saling mengenal (ta’aruf) dari segi karakter, adat istiadat, dan lain sebagainya. Jika sudah Ta’aruf, maka mereka  perlu saling memahami (tafahum) apa yang ada pada masing masing. Jika sudah Tafahum, maka langkah berikutnya adalah perlunya saling kerjasama dan saling tolong menolong (ta’awun) dalam semua bidang kehidupan demi untuk kemaslahatan bersama.
Salah satu hal yang perlu dikerjasamakan antara manusia adalah bagaimana melestarikan bumi yang telah diamanahkan oleh Allah kepada manusia selaku “Khalifah” di bumi, agar mereka bisa menjaga ekosistem yang ada di dalamnya, menjaga kelestariannya, memakmurkannya dan menjadikan hidup lebih sejahtera untuk anak cucu kita bersama. Demikian juga bagaimana manusia bisa menciptakan perdamaian di bumi, bukan saling perang dan menjaga nilai ketuhanan dalam berbangsa dan bernegara.
Ukhuwah (Persaudaraan):
Al-Qur’an menggugah kesadaran kita bersama akan adanya persaudaraan antar sesama manusia. Persaudaraan itu berupa:
Ukhuwwah Insaniyyah: yaitu persaudaraan karena sesama manusia, berdasarkan kemanusiaan, sebagaimana yang terdapat dalam surah “al-Hujurat: . 13)
Ukhuwwah Wathaniyyah (persaudaraan sebangsa dan se tanah air). Dalam surah asy-Syu’ara’ disebutkan bahwa Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shaleh, Nabi Syu’aib adalah saudara bagi kaum mereka. (Lih. Surah asy-Syu’ara’: 105, 124, 142, al-A’raf: 85). Kemudian dalam “Piagam Madinah” yang dideklarasikan oleh Nabi Muhammad tercantum dictum yang berbau “nasionalis” yaitu: وأن يهود بني عوف أمة مع المؤمنين، لليهود دينهم، وللمسلمين دينهم  artinya : sesungguhnya kelompok Yahudi Bani ‘Auf adalah satu umat dengan kaum mukminin. Bagi mereka agama mereka dan bagi kaum muslimin agama mereka sendiri.
Ukhuwwah Diniyyah (persaudaraan sebagai sesama pemeluk agama) sebagaimana yang isyarahkan pada ayat : {قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ} [آل عمران: 64] artinya : Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu.  Akan halnya dengan kaum musyrik, Allah berfirman : {لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)} [الكافرون: 6] artinya : bagimu agamamu dan bagiku agamaku.
Ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan sesama kaum muslim) sebagaimana firman Allah : {إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَة} [الحجرات: 10] bahwa kaum mukminin adalah saudara.
Semua bentuk ukhuwwah ini adalah bisa menjadi kekuatan bagi kelompok masyarakat. Namun jika ukhuwwah ini tidak di jaga, justeru akan menjadi pemantik bagi terjadinya benturan benturan yang tidak kita inginkan bersama. Seringkali kita melihat saling mencurigai antara satu kelompok dengan lainnya.
Tingkat kecurigaan ini bisa naik ke tingkat saling menyalahkan, menghujat dan mencaci, merasa paling benar sendiri, dan bahkan sampai adu fisik. Inilah yang harus kita hindarkan bersama. Benturan yang kecil jangan dibiarkan membesar. Yang akan menanggung akibat dari semuanya adalah bangsa kita sendiri. Sementara didepan kita banyak sekali tantangan yang harus kita hadapi yaitu agenda pembangunan yang menuntut kita bersatu, bekerja dan bekarja, demi cita cita luhur kita.
Bapak Presiden dan hadirin  yang saya hormati
Kita berharap dengan nilai nilai Al-Qur’an yang universal ini kita bisa membangun negeri ini sehingga menjadi negeri yang sentosa serta mendapatkan ampunan dari Allah SWT. Kemudian dalam rangka “Nuzul Qur’an “ ini kita apresiasi rencana besar Bapak Menteri Agama Republik Indonesia, yang ingin menciptakan ribuan doktor, dan ribuan penghapal Al-Qur’an, agar nilai nilai Al-Qur’an bisa tersemai di hati mereka, sebagai persiapan untuk menyongsong peradaban manusia di abad abad mendatang. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Penulis: Guru Besar Ilmu Tafsir, UIN Jakarta. Makalah disampaikan dalam peringatan nuzulul Quran, di Istana Negara, Jumat (3/7).

KEHIDUPAN SESUDAH MATI MENURUT ALQURAN

BISMILLAH,

Kita beruntung dikirim Allah ke bumi melalui ayah dan Ibu kita. Mengapa beruntung? Karena dunia ini adalah ajang untuk kita mempersiapkan diri menuju kampung akhirat yang abadi. So, jangan sia-siakan... bertanamlah untuk bekal ke kampung yang abadi itu..

Sesungguhnya dunia adalah kampung kebenaran bagi yang benar dalamnya kampung kekayaan bagi yang membekali dirinya, kampung belajar bagi yang mengambil pelajaran, masjid kekasih Allah, mushalla para malaikat Allah, tempat turunnya wahyu,dan tempat berniaganya kekasih-kekasih Allah.” (Nahjul-Balaghah) 

Ungkapan Sayidina Ali kw di atas memberikan kepada kita pelajaran berharga akan dimensi lain makna kehidupan di dunia. Dalam untaian yang fasih tersebut, Sayidina Ali kw menunjukkan bagaimana manfaat dan bergunanya dunia bagi peningkatan kesempurnaan manusia. Dunia merupakan taman pendidikan yang mesti dilalui manusia untuk mendapatkan hasilnya kelak di Akhirat. Jika hasilnyan baik maka kebaikan dan kebahagiaan surgalah yang diperolehnya, tetapi jika hasilnya buruk maka keburukan nerakalah yang menjadi tempat tinggalnya, “Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan duniawi, neraka adalah tempat tinggalnya, sedangkan yang takut pada kebesaran Tuhannya dan mencegah dirinya dari mengikuti hawa nafsu, sorga adalah tempat tinggalnya”. (QS. An-Naziat : 37-41) 

Kematianyang berarti terpisahnya jasad material dengan ruh, merupakan salah satu stasiun perjalanan menuju ke akhirat, dimana seluruh makhluk hidup di dunia akan berakhir dan memasuki alam yang baru, yakni alam barzakhatau alam kubur. Alquran menyebutkan “Semua yang ada di muka bumi ini akan fana.” (Q.S. al-Rahman: 26); “Setiap yang bernyawa itu pasti akan mengalami kematian.” (Q.S. Ali Imran: 185); “Sesungguhnya engkau wahai rasul, akan mati. Dan sesungguhnya mereka pun akan mati.” (Q.S. az-Zumar: 30). 

Mati bukanlah akhir dari segalanya, melainkan dimulainya episode baru dalam kehidupan yang berbeda. Karakter hakiki kematian bukanlah kemusnahan, melainkan pembaharuan dan perpindahan. Karena itu, kematian tidak mesti ditakutkan, tetapi suatu peristiwa yang harus dihadapi dengan berbagai persiapan yang matang, sebab Allah “menjadikan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapakah diantara kamu yang terbaik amalnya” (Q.S. Al-Mulk: 2)

Dalam pandangan agama, seseorang bergerak menuju jalan kesempurnaan dalam bentuk kematian. Dalam Alquran, selain menggunakan kata mauta(mati), terdapat juga istilah tawaffa atau wafat. Tawaffasecara bahasa berarti pengambilan sesuatu secara utuh dan sempurna. Di saat manusia menarik sesuatu dengan betul-betul dan utuh sehingga tak ada yang tersisa, dalam bahasa Arab diungkapkan dengan kata tawaffa. Misalnya ungkapantawaffaitul mal, yang bermakna‘aku telah ambil seluruh harta bendaku tanpa kurang dan lebih.’ Artinya, kematian merupakan pintu atau jembatan yang harus dilewati agar manusia dapat memasuki alam lain yang lebih sempurna. Dengan begitu, kematian berarti kelahiran dan kehidupan baru, ”Katakanlah, “Malaikat maut yang diserahi tugas (untuk mencabut nyawamu) akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Allah-lah kalian akan dikembalikan”. (QS. As-Sajadah: 11).

Jika kita memahami ini, maka kematian merupakan proses pengembalian manusia, baik dari sisi jasmani maupun ruhani. Secara material, dikatakan bahwa jasad manusia berasal dari tanah, maka ia akan kembali ke pada tanah setelah matinya (dikubur/dikebumikan), begitu pula secara non-material, ruh manusia berasal dari alam yang lebih tinggi darinya yaitu alam mitsal (alam barzakh), maka ia dikembalikan ke alam barzakh, yang merupakan alam yang sesuai dengan karakteristiknya. 

Mencermati ayat-ayat al-Quran, proses kematian atau pencabutan ruh manusia di bawah kuasa Tuhan yang dilaksanakan oleh utusan-utusan-Nya (malaikat) dengan model pencabutan disesuaikan pada karakter manusianya. Jika manusia mukmin maka proses pencabutan berjalan dengan lancar dan penuh kelembutan,Allah berfirman, “Mereka yang dimatikan oleh para malaikat yang baik itu berkata, ‘Salam sejahtera atas kalian’.” (Q.S. an-Nahl: 32); “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Q.S. al-Fajr: 27-30). 

Dan sebaliknya, jika terhadap manusia kafir, utusan-utusan Tuhan mencabut nyawanya dengan penuh kekerasan, Allah berfirman : “Jika saja kamu melihat ketika malaikat itu mematikan orang-orang yang kafir, mereka memukul-mukul wajah mereka dan punggung mereka.” (Q.S. al-Anfal: 50); “…Alangkah dahsyatnya sekira kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratulmaut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya (sambil berkata), ‘keluarkanlah nyawamu’…” (Q.S. al-An’am: 93). Semoga Allah menjaga kita dari kematian yang su’ul khatimah.

sumber:  mimbar islam

PANDANGAN ISLAM TERHADAP LGBT

BISMILLAH,
Sejak lama, banyak sekali kejadian penyimpangan orientasi seksual yang bertentangan dengan fitrah manusia, agama dan adat masyarakat Indonesia. Belakangan ada LGBT. Menurut wikipedia, lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan. Istilah ini juga merujuk kepada perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional, atau secara spiritual. Sedangkan Gay adalah sebuah istilah yang umumnya digunakan untuk merujuk orang homoseksual atau sifat-sifat homoseksual. Sedikit berbeda dengan bisexual, biseksual (bisexual) adalah individu yang dapat menikmati hubungan emosional dan seksual dengan orang dari kedua jenis kelamin baik pria ataupun wanita (kamuskesehatan.com). Lalu bagaimana dengan Transgender? Masih menurut wikipedia, transgender merupakan ketidaksamaan identitas gender seseorang terhadap jenis kelamin yang ditunjuk kepada dirinya. Seseorang yang transgender dapat mengidentifikasi dirinya sebagai seorang heteroseksual, homoseksual, biseksual maupun aseksual. Dari semua definisi diatas walaupun berbeda dari sisi pemenuhan seksualnya, akan tetapi kesamaanya adalah mereka memiliki kesenangan baik secara psikis ataupun biologis dan orientasi seksual bukan saja dengan lawan jenis akan tetapi bisa juga dengan sesama jenis.
Walaupun kelompok LGBT mengklaim keberadaannya karena faktor genetis dengan teori “Gay Gene” yang diusung oleh Dean Hamer pada tahun 1993. Akan tetapi, Dean sebagai seorang gay kemudian meruntuhkan sendiri hasil risetnya. Dean mengakui risetnya itu tak mendukung bahwa gen adalah faktor utama/yang menentukan yang melahirkan homoseksualitas. Perbuatan LGBT sendiri ditolak oleh semua agama bahkan dianggap sebagai perbuatan yang menjijikan, tindakan bejat, dan keji (republika.co.id, 26/01/2016).
 Pandangan Islam
Dalam Islam LGBT dikenal dengan dua istilah, yaitu Liwath (gay) dan Sihaaq (lesbian). Liwath (gay) adalah perbuatan yang dilakukan oleh laki-laki dengan cara memasukan dzakar (penis)nya kedalam dubur laki-laki lain. Liwath adalah suatu kata (penamaan) yang dinisbatkan kepada kaumnya Luth ‘Alaihis salam, karena kaum Nabi Luth ‘Alaihis salam adalah kaum yang pertama kali melakukan perbuatan ini (Hukmu al-liwath wa al-Sihaaq, hal. 1). Allah SWT menamakan perbuatan ini dengan perbuatan yang keji (fahisy) danmelampui batas (musrifun). Sebagaimana Allah terangkan dalam al Quran:
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ ( ) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ ( )

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (TQS. Al ‘Araf: 80 – 81)
Sedangkan Sihaaq (lesbian) adalah hubungan cinta birahi antara sesama wanita dengan image dua orang wanita saling menggesek-gesekkan anggota tubuh (farji’)nya antara satu dengan yang lainnya, hingga keduanya merasakan kelezatan dalam berhubungan tersebut (Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, Juz 4/hal. 51).
Hukum Sihaaq (lesbian) sebagaimana dijelaskan oleh Abul Ahmad Muhammad Al-Khidir bin Nursalim Al-Limboriy Al-Mulky (Hukmu al liwath wa al Sihaaq, hal. 13) adalah haram berdasarkan dalil hadits  Abu Said Al-Khudriy yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 338), At-Tirmidzi (no. 2793) dan Abu Dawud (no. 4018) bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
«لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ».

“Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita melihat aurat wanita lain. Dan janganlah seorang laki-laki memakai satu selimut dengan laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita memakai satu selimut dengan wanita lain”
Terhadap pelaku homoseks, Allah swt dan Rasulullah saw benar-benar melaknat perbuatan tersebut. Al-Imam Abu Abdillah Adz-Dzahabiy -Rahimahullah- dalam Kitabnya “Al-Kabair” [hal.40] telah memasukan homoseks sebagai dosa yang besar dan beliau berkata: “Sungguh Allah telah menyebutkan kepada kita kisah kaum Luth dalam beberapa tempat dalam Al-Qur’an Al-Aziz, Allah telah membinasakan mereka akibat perbuatan keji mereka. Kaum muslimin dan selain mereka dari kalangan pemeluk agama yang ada, bersepakat bahwa homoseks termasuk dosa besar”.
Hal ini ditunjukkan bagaimana Allah swt menghukum kaum Nabi Luth yang melakukan penyimpangan dengan azab yang sangat besar dan dahsyat, membalikan tanah tempat tinggal mereka, dan diakhiri hujanan batu yang membumihanguskan mereka, sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Hijr ayat 74:

فَجَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِنْ سِجِّيل.

“Maka kami jadikan bagian atas kota itu terbalik ke bawah dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras”
Sebenarnya secara fitrah, manusia diciptakan oleh Allah swt berikut dengan dorongan jasmani dan nalurinya. Salah satu dorongan naluri adalah naluri melestarikan keturunan (gharizatu al na’u) yang diantara manifestasinya adalah rasa cinta dan dorongan seksual antara lawan jenis (pria dan wanita). Pandangan pria terhadap wanita begitupun wanita terhadap pria adalah pandangan untuk melestarikan keturunan bukan pandangan seksual semata. Tujuan diciptakan naluri ini adalah untuk melestarikan keturunan dan hanya bisa dilakukan diantara pasangan suami istri. Bagaimana jadinya jika naluri melestarikan keturunan ini akan terwujud dengan hubungan sesama jenis? Dari sini jelas sekali bahwa homoseks bertentangan dengan fitrah manusia.
Oleh karena itu, sudah dipastikan akar masalah munculnya penyimpangan kaum LGBT saat ini adalah karena ideologi sekularisme yang dianut kebanyakan masyarakat Indonesia. Sekularisme adalah ideologi yang memisahkan agama dari kehidupan (fash al ddin ‘an al hayah).
Masyarakat sekular memandang pria ataupun wanita hanya sebatas hubungan seksual semata. Oleh karena itu, mereka dengan sengaja menciptakan fakta-fakta yang terindera dan pikiran-pikiran yang mengundang hasrat seksual di hadapan pria dan wanita dalam rangka membangkitkan naluri seksual, semata-mata mencari pemuasan. Mereka menganggap tiadanya pemuasan naluri ini akan mengakibatkan bahaya pada manusia, baik secara fisik, psikis, maupun akalnya. Tindakan tersebut merupakan suatu keharusan karena sudah menjadi bagian dari sistem dan gaya hidup mereka (al Nizham al Ijtima’i fi al Islam, hal. 22). Tidak puas dengan lawan jenis, akhirnya pikiran liarnya berusaha mencari pemuasan melalui sesama jenis bahkan dengan hewan sekalipun, dan hal ini merupakan kebebasan bagi mereka. Benarlah Allah swt berfirman:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (TQS Al ‘Araf : 179)
 Hukuman Bagi Para Pelaku LGBT
Pemberlakuan hukuman dalam Islam bertujuan untuk menjadikan manusia selayaknya manusia dan menjaga kelestarian masyarakat. Syariat Islam telah menetapkan tujuan-tujuan luhur yang dilekatkan pada hukum-hukumnya. Tujuan luhur tersebut mencakup; pemeliharaan atas keturunan (al muhafazhatu ‘ala an nasl), pemeliharaan atas akal (al muhafazhatu ‘ala al ‘aql), pemeliharaan atas kemuliaan (al muhafazhatu ‘ala al karamah), pemeliharaan atas jiwa (al muhafazhatu ‘ala an nafs), pemeliharaan atas harta (al muhafazhatu ‘ala an al maal), pemeliharaan atas agama (al muhafazhatu ‘ala al diin), pemeliharaan atas ketentraman/keamanan (al muhafazhatu ‘ala al amn), pemeliharaan atas negara (al muhafazhatu ‘ala al daulah) (Muhammad Husain Abdullah, hal. 100).
Dalam rangka memelihara keturunan manusia dan nasabnya, Islam telah mengharamkan zina, gay, lesbian dan penyimpangan seks lainnya serta Islam mengharuskan dijatuhkannya sanksi bagi pelakunya. Hal ini bertujuan untuk menjaga lestarinya kesucian dari sebuah keturunan. Berkaitan dengan hukuman pagi para pelaku LGBT, beberapa ulama berbeda pendapat. Akan tetapi, kesimpulannya para pelaku tetap ahrus diberikan hukuman. Tinggal nanti bagaimana khalifah menetapkan hukum mana yang dipilih sebagai konstitusi negara (al Khilafah).Ulama berselisih pendapat tentang hukuman bagi orang yang berbuat liwath. Diantara beberapa pendapat tentang hukuman bagi pelaku liwath diantaranya:
Pertama, Hukumannya adalah dengan dibunuh, baik pelaku (fa’il) maupun obyek  (maf’ul bih) bila keduanya telah baligh. Berkata Al-Imam Asy-Syaukani Rahimahullah dalam “Ad-Darariy Al-Mudhiyah” (hal. 371-372): Adapun keberadaannya orang yang mengerjakan perbuatan liwathdengan dzakar (penis)nya hukumannya adalah dibunuh, meskipun yang melakukannya belum menikah, sama saja baik itu fa’il (pelaku) maupun maf’ul bih. Telah mengkabarkan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad, dari ‘Amr ibnu Abi ‘Amr,dari Ikrimah, dari Ibu Abbas, berkata Rasulullah SAW:
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
“Barangsiapa yang kalian mendapati melakukan perbuatan kaum Luth (liwath), maka bunuhlah fa’il (pelaku) dan maf’ul bih (partner)nya
Kedua, Hukumannya dirajam, hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dari Ali bahwa dia pernah merajam orang yang berbuatliwath. Imam Syafi’y mengatakan: “Berdasarkan dalil ini, maka kita menggunakan rajam untuk menghukum orang yang berbuat liwath, baik itu muhshon (sudah menikah) atau selain muhshon. Hal ini senada dengan Al-Baghawi, kemudian Abu Dawud [dalam “Al-Hudud” Bab 28] dari Sa’id bin Jubair dan Mujahid dari Ibnu Abbas: Yang belum menikah apabila didapati melakukan liwathmaka dirajam (Lihat “Ad-Darariy Al-Mudhiyah”, hal. 371).
Ketiga, hukumannya sama dengan hukuman berzina. Pendapat ini seperti ini disampaikan oleh Sa’id bin Musayyab, Atha’ bin Abi Rabbah, Hasan, Qatadah, Nakha’i, Tsauri, Auza’i, Imam Yahya dan Imam Syafi’i (dalam pendapat yang lain), mengatakan bahwa hukuman bagi yang melakukan liwath sebagaimana hukuman zina. Jika pelaku liwath muhshon maka dirajam, dan jika bukan muhson dijilid (dicambuk) dan diasingkan. [“Ad-Darariy Al-Mudhiyah”, (hal. 371)].
Keempathukumannya dengan ta’zir, sebagaimana telah berkata Abu Hanifah: Hukuman bagi yang melakukan liwath adalah di-ta’zir, bukan dijilid (cambuk) dan bukan pula dirajam [“Ad-Darariy Al-Mudhiyah”, (hal. 372)]. Abu Hanifah memandang perilaku homoseksual cukup dengan ta‘zir. Hukuman jenis ini tidak harus dilakukan secara fisik, tetapi bisa melalui penyuluhan atau terapi psikologis agar bisa pulih kembali. Bahkan, Abu Hanifah menganggap perilaku homoseksual bukan masuk pada definisi zina, karena zina hanya dilakukan pada vagina (qubul), tidak pada dubur (sodomi) sebagaimana dilakukan oleh kaum homoseksual. (Ahkam As-Syar’iyyah, Darul Ifaq Al-Jadidah).
Sedangkan bagi para pelaku lesbian, hukumannya adalah ta’zir. Al-Imam Malik Rahimahullahberpendapat bahwa wanita yang melakukan sihaq, hukumannya dicambuk seratus kali. Jumhur ulama berpendapat bahwa wanita yang melakukan sihaq tidak ada hadd baginya, hanya saja ia di-ta‘zir, karena hanya melakukan hubungan yang memang tidak bisa dengan dukhul (menjima’i pada farji), dia tidak akan di-hadd sebagaimana laki-laki yang melakukan hubungan dengan wanita tanpa adanya dukhul pada farji, maka tidak ada had baginya. Dan ini adalah pendapat yang rojih (yang benar) [Lihat “Shohih Fiqhus Sunnah” Juz 4/Hal. 51)].
Sebenarnya sanksi yang dijatuhkan di dunia ini bagi si pendosa akan mengakibatkan gugurnya siksa di akhirat. Tentu saja hukuman di akhirat akan lebih dahsyat dan kekal dibandingkan sanksi yang dilakukan di dunia. Itulah alasan mengapa sanksi – sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (jawazir) dan penebus (jawabir). Disebut pencegah karena akan mencegah orang lain melakukan tindakan dosa semisal, sedangkan dikatakan penebus karena sanksi yang dijatuhkan akan menggugurkan sanksi di akhirat (Muhammad Husain Abdullah, hal. 159).
Kesimpulan
Perlu menjadi kesadaran bagi umat Islam di Indonesia, bahwa LGBT merupakan penyimpangan orientasi seksual yang dilarang oleh semua agama terlebih lagi Islam. Selain karena perbuatan keji ini akan merusak kelestarian manusia, yang lebih penting Allah swt dan Rasulullah melaknat perbuatan kaum Nabi Luth ini. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk melawan segala jenis opini yang seolah atas nama HAM membela kaum LGBT akan tetapi sesungguhnya mereka membawa manusia menuju kerusakan yang lebih parah.
Disinilah urgensitas penerapan syariah Islam dalam bingkai Khilafah Islam dengan seperangkat aturan dan konsep dalam mengatur hubungan diantara pria dan wanita. Aturan Islam akan senantiasa membentuk ketaqwaan individu, memberi dorongan kepada masyarakat untuk saling menasihati dan menciptakan lingkungan Islami serta negara yang menindak tegas para pelaku LGBT sebagai fungsi pencegah dan penebus dosa. [AJ]

Daftar bacaan
  1. Abdullah, Muhammad Husain, 1990. Dirasat fi al fikr al Islamiy, Dar al Bayariq
  2. An Nabhani, Syaikh Taqiyuddin, 2003. Al Nizham al Ijtima’i fii al Islam, Beirut: Dar al Ummah, cet. IV
  3. Al-Mulky, Abul Ahmad Muhammad Al-Khidir bin Nursalim Al-Limboriy, Hukm al liwath wa al sihaaq,Yaman: Dammaj-Sha’dah
  4. Sabiq, Sayyid, 2000. Fiqhus Sunnah (terj), Kairo: Dar al Fath Lil I’lam Al ‘arobi, cet.